Kebijakan tax amnesty berpotensi menghasilkan repatriasi dana Rp 160 triliun. Bursa Efek Indonesia (BEI) menyiapkan instrumen reksa dana penyertaan terbatas (RDPT), saham-saham IPO, dan saham di pasar sekunder untuk menampung aliran masuk dana tersebut. Pertanyaannya, sejauh mana kesiapan instrumen-instrumen tersebut menyerap dana hasil repatriasi?
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga akhir 2015 dana kelolaan (asset under management) RDPT mencapai Rp 17,64 triliun dari 76 produk atau baru 6,12% dari total AUM industri reksa dana sebesar Rp 288 triliun. Imbal hasil RDPT yang ditawarkan sejumlah perusahaan manajer investasi cukup menarik, berada di atas imbal 7% bahkan ada yang mencapai 2 digit. Untuk mengelola dana puluhan triliun, dibutuhkan banyak produk RDPT. Begitu pula dengan saham-saham IPO yang akan menampung dana tersebut. Sepanjang tahun ini, nilai IPO terbesar berasal dari IPO PT Cikarang Listrindo Tbk (POWR), yakni Rp 2,4 triliun. Penawaran IPO lainnya nilainya baru puluhan miliar.
Tito Sulistio, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, mengatakan produk RDPT yang disiapkan diutamakan yang memiliki underlying asset ke proyek-proyek infrastruktur yang kebutuhan dananya besar. Dengan demikian, serapan dana kelolaannya pun akan besar. Exit strategy dari RDPT akan diarahkan untuk IPO di BEI. Adapun nilai IPO yang besar diharapkan datang dari badan usaha milik negara (BUMN) dan anak-anak usahanya. Namun, masih ada kendala dari proses IPO BUMN yang membutuhkan waktu lama untuk persetujuan dari pemerintah dan DPR. Pada semester II 2016, akan ada satu IPO dari perusahaan konstruksi yang diestimasi mampu menggalang dana Rp 4 triliun. Sepertinya masih banyak pekerjaan rumah yang harus disiapkan BEI untuk menyongsong dana repatriasi. (*)
[…] terbatas (RDPT), saham-saham IPO, dan saham di pasar sekunder untuk menampung. (Baca lengkapnya di Siapkah BEI Kelola Repatriasi Dana Tax Amnesty?) Bahkan BEI telah memberikan insentif berupa diskon biaya transaksi crossing saham dan […]